Berbagai dampak akibat masa penjajahan Belanda atas Indonesia masih terasa hingga sekarang. Bagaimana dengan dampak dari kebijakan zaman kolonial di bidang kehutanan?
Secara garis besar, sektor kehutanan Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan paradigma. Paradigma timber extraction konvensional pada abad 8-16 oleh kerajaan-kerajaan, dan secara modern tahun 1650-1800 oleh VOC. Paradigma timber management memegang peran besar sejak 1800 dan diterapkan hingga sekarang yang telah melewati beberapa metode pengelolaan serta trial and error. Sejak tahun 1974, telah dimulai pembicaraan mengenai kehutanan sosial yang tidak lagi fokus terhadap pengelolaan kayu saja. Tahun 2000 terdapat penerapan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang mengalami berbagai perubahan, hingga terdapat Perhutanan Sosial sejak 2016. Saat ini, Indonesia sedang “mendalami” perhutanan sosial namun tidak sepenuhnya melepaskan timber management.
Pengelolaan kehutanan zaman kolonial dapat dibagi menjadi beberapa segmen berikut:
- Zaman Daendels (1808-1811), membentuk pengaturan pemangkuan hutan (Boschwezen) pertama di Jawa, menentukan pengaturan etat, TPK, pengukuran dan pemetaan hutan.
- Zaman Raffles (1811-1816), pengelolaan hutan dikembalikan kepada residen namun implementasi dan pengawasan di lapangan lemah, sehingga terjadi logging besar-besaran, merupakan kemunduran pengelolaan hutan di Jawa.
- Zaman Cultuurstelsel (1830-1860), terdapat pembangunan perkebunan dan pertanian skala besar dipimpin oleh Van den Bosch. Lahir sistem pertanian lahan kering, sistem irigasi, sistem buruh upahan. Terjadi konversi lahan hutan untuk pertanian dan perkebunan secara besar-besaran. Penyerapan tenaga kerja sebagai buruh dalam jumlah besar.
- Zaman Tim Mollier-Nemich (1860an-1870), terdapat penataan kegiatan teknik kehutanan dan konsolidasi organisasi hutan jati di Jawa, menciptakan sistem permudaan Blandhongcultuur, Tumpangsari, dan rancangan sistem pemanenan hutan yang lestari.
- Zaman Hindia-Belanda (1870-1940an), terbentuk UU Agraria/Agrarische Wet.
Terdapat sejumlah hukum dan perundangan kehutanan yang dibentuk pada masa kolonial, beberapa yang penting untuk dicatat di antaranya adalah:
- SK Boschwezen No. 28/1858 tentang pembentukan komisi perancang peraturan kehutanan
- SK Gubjen Pakaud No. 16/1860 tentang pengangkatan komisi penyusunan peraturan kehutanan yang terdiri atas: Mr. F.H. der Kinderen (panitera pada MA), F.G. Bloemen Waanders (Inspektur Tanaman Budidaya), dan E. van Roessler (Inspektur Kehutanan Madiun).
- Reglemen Hutan tahun 1865, rancangan UU Kehutanan Jawa Madura
- UU Agraria tahun 1870, Pasal 1 ttg Domeinverklaring (batas hak kerajaan): "Seluruh tanah yang peruntukkannya tidak ditentukan oleh hukum kepemilikan lain, merupakan kepemilikan negara."
- Ordonansi Hutan 1927, Peraturan Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura
- Peraturan Hutan tahun 1932
Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia mulai bertambah sejak kemerdekaan, dengan peraturan dan undang-undang saling menggantikan maupun memperkuat. Dengan mengesampingkan efek dari kebijakan era Orde Lama dan Orde Baru, dapat dikatakan pengelolaan hutan zaman kolonial masih menyisakan “pengaruh” yang terasa dan digunakan hingga saat ini:
- UU Agraria pasal 1 menjadi dasar bagi UU 41 tahun 1999 mengenai pengelolaan hutan sebagai milik negara.
- Menjadi dasar bagi rancangan awal pemangkuan dan organisasi kepengurusan hutan Indonesia.
- Menjadi dasar pengukuhan kawasan hutan yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat, menimbulkan konflik berkepanjangan mengenai penentuan batas dan status kawasan hutan dengan rakyat.
- Metode inventarisasi dan perencanaan hutan jati khususnya di Jawa, termasuk tabel pengelolaan jati Wolf von Wulving (WvW) yang masih diterapkan oleh Perum Perhutani.
- Sistem pertanian, perkebunan, buruh upahan, tumpangsari, yang sampai saat ini masih digunakan.
Dampak berkepanjangan dengan efek lebih luas terjadi dalam pola pikir pengelolaan hutan yang sulit untuk diubah. Pemerintahan kolonial-lah yang mengawali sistem pengelolaan hutan di Indonesia dengan berbagai metode dan pemikiran yang teruji. Tidak dapat dipungkiri bahwa “bisnis” kehutanan memiliki visi dan jangka panjang, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengetahui hasil metode baru yang baru diterapkan sekarang. Sebagai contoh, dibutuhkan ratusan tahun untuk menghasilkan tabel jati WvW yang telah diproyeksikan ke berbagai tingkatan Bonita, sedangkan sekarang ini kondisi tapak dengan Bonita V-VI hampir tidak dapat ditemukan.
Hal-hal semacam ini membuat sulitnya melepaskan pengaruh kolonial yang sudah tidak tepat digunakan seperti sistem perencanaan hutan jati di Jawa. Selain sulit untuk dilakukan proyek penelitian besar jangka panjang, pemerintah Indonesia perlu mendahulukan banyak prioritas yang lebih kritis dan mendesak. Belum ada usaha pemerintah maupun akademisi untuk melakukan uji metode kehutanan yang lebih ekstensif.
Indonesia membutuhkan banyak terobosan baru dalam pengelolaan hutan. Kondisi hutan saat ini sudah tidak cocok untuk dikelola dengan metode lampau yang memperhitungkan luas hutan yang besar dan interaksi masyarakat ke hutan yang masih minim. Saat ini, banyak pihak memiliki kepentingan masing-masing terhadap hutan yang berpotensi menimbulkan tragedy of the common, sehingga dibutuhkan pengelolaan baru yang lebih holistik. Dunia telah bergerak menuju pengelolaan berbasis lanskap (landscape-based management), tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia perlu bergerak cepat untuk mengadaptasi perspektif baru ini.
---
ditulis untuk memenuhi tugas esai mata kuliah Kebijakan Kehutanan.
Comments
Post a Comment