Skip to main content

Kenapa tidak mau belajar Financial Planning?

Seorang sahabat mengabari saya via WhatsApp, baru saja kencan dengan gebetan, katanya. Salah satu topik obrolan mereka: betapa orang Indonesia kurang mendapatkan pendidikan tentang financial planning. "Money is more taboo than sex," tulisnya. Saya langsung setuju.

Mungkin "tabu" rasanya kurang sesuai dengan konteks, tapi saya paham maksudnya. Bukan tabu, melainkan orang lebih sering mengangkat pembicaraan tentang kehidupan seksual orang lain dibanding pendidikan keuangan.

Sekarang ini, pelajar sekolah dapat materi reproduksi seksual, tentang perbedaan jenis kelamin, tentang bahaya perilaku seks bebas, tentang bahaya aborsi, dan married-by-accident. Walaupun kita masih ketinggalan untuk konteks penegakan hukum (monmaap tolong disahkan RUU PKS).

Apakah para pelajar juga diberi materi mengenai sistem uang, cara menabung, cara membuat anggaran, tentang perbedaan uang palsu dan uang asli, tentang bahaya investasi bodong, dan bahwa sebenarnya tidak semua utang itu berbahaya?

Saya khawatir kalau slogan uang bukan segalanya justru telah menjerumuskan menuju pola pikir bahwa mengelola uang tidak penting. Berhemat atau cari harga diskon, dibilang pelit. Rasanya malu kalau kita serius dalam membagi prioritas biaya dalam keluarga. Sampai kalau mau menagih utang itu kok jadi merasa bersalah, rasanya jadi orang kok perhitungan banget sih soal uang.

Uang tidak usah dicari, rejeki ada yang mengatur, pasti akan ada jalan... oh ya, tentu. Tidak salah. Namun, sama seperti pepatah berdoa dan berusaha, uang juga tidak akan datang begitu saja kalau kita tidak mengelolanya dengan baik.

Mengapa berita atau kasus tentang keuangan sering kalah viral dibanding berita berbau seksual? Ketika ada kasus korupsi ratusan triliun, kemudian pemblokiran konten Youtuber seksi, mengapa keseriusan dalam menanggapi berita-berita tersebut rasanya tidak seimbang? Mengapa kita enggak berduka untuk jutaan masyarakat yang pajaknya telah hangus masuk ke kantong pribadi?

Apakah karena kasus-kasus berbau "uang" itu tidak menimbulkan goncangan moral? Karena tidak bikin orang mati atau tidak ada siksaan fisik mengerikan? Kalau ada berita "seseorang ditemukan bunuh diri karena bangkrut dan tidak bisa membayar utang", yang saya bayangkan adalah tersiksanya mental orang tersebut. Depresi, tekanan sosial, gunjingan dari berbagai sisi--semuanya bukan gangguan yang terlihat mata. Tidak bisa mencari uang untuk membayar utang, sementara bunga makin menumpuk, tenggat waktu mendesak, dan ada nama baik keluarga yang harus dijaga. Sulit.

Ataukah karena uang hanyalah benda mati?

Atau karena mengelola uang dianggap mudah? Ah, tidak usah diajari, biar mandiri, belajar sendiri, 'kan sudah besar. Ah, nggak usah belajar ngatur keuangan, gampang 'kan tinggal mana yang keinginan dan mana yang kebutuhan.

Ini masih tentang uang. Kita belum berbicara aset. Belum berbicara investasi, saham, gadai, pajak, kredit, asuransi, lalala-lalala lainnya. Ketika muncul berita mengenai Bu Sri Mulyani yang mencicil utang negara 400 triliun, nggak sampai separo yang bisa saya pahami dari keterangan beliau. Utang negara yang sebanyak itu (dan bertambah) masih dibilang dalam batas aman. Kalau saya berpikir pendek, bisa ngomel nggak karuan, mengira negara yang keuangannya sehat itu bebas utang. Tapi nyatanya tidak demikian, saya saja yang belum paham ilmunya. 

Makin penasaran, saya pun menjelajah internet, mencari tahu kira-kira mengapa manusia tidak terlalu mementingkan manajemen keuangan.

Mengapa tidak mau tahu tentang Financial Planning?

Berikut ini adalah infografis dari The Financial Literates mengenai Why People Avoid Financial Planning:

Intinya? Tidak paham, tidak (merasa) penting, tidak (merasa) butuh, tidak mau tahu.

Kalau tertarik untuk membaca lebih jauh tentang ini, berikut diskusi-diskusi menarik yang dapat disimak:

Literasi Keuangan

Secara pribadi, saya baru benar-benar terjun dalam dunia mengatur keuangan ketika menjadi mahasiswa. Dipasrahi sekian uang saku dari orangtua, untuk membayar dan membiayai kebutuhan hidup saya dalam berbagai macam hal, yang harus saya atur sendiri berapa besarannya, kapan bayarnya, dan apakah saya benar-benar harus membeli atau membayar ini itu. Kaget.

Makan biasanya sudah ada menu lengkap di balik tudung saji, sekarang harus mikir-mikir mau makan nasi sayur atau mi instan goreng, sedangkan teman ngajak hangout ke KFC. Biasanya makan tinggal makan saja, sekarang harus menimbang, lebih baik puasa sehari daripada tidak ada uang untuk print laporan yang tenggat waktunya sore ini daripada harus ngulang lagi semester depan. Logika ekonomi sederhana, yang kita lakukan sehari-hari, tanpa kita sadari.

Saya pun mengunduh aplikasi keuangan, mencoba mencatat pengeluaran dan pemasukan dengan teratur, memaksakan diri untuk menabung, menahan diri untuk tidak membeli di luar kebutuhan--semua ini harus dilatih sendiri karena saya tidak bisa bergantung selamanya pada bank tanpa bunga dan tagihan bernama orangtua.

Ini baru kehidupan mahasiswa saja. Bagaimana dengan jenjang yang baru? Kerja dan kehidupan rumahtangga? Orangtua terbiasa mengajari anak untuk menjadi istri/suami yang baik, namun tidak sepenuhnya mengajarkan cara mengatur keuangan rumahtangga. Bagaimana membayar pajak, cicilan rumah, asuransi, biaya sekolah anak?

Penyebab orang Indonesia sering gagal mengelola keuangan adalah karena strategi perencanaan keuangan yang dimiliki hanya untuk jangka pendek. Jangankan main saham dan investasi, kredit saja terdengar menyeramkan. Masih ada "ketakutan" terhadap uang yang tidak berbentuk fisik, walaupun sudah mulai berkurang dengan maraknya teknologi finansial dan kaum milenial-gen Z yang mulai terbiasa bertransaksi cashless.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Selagi manusia memiliki kebutuhan, "sistem uang" akan tetap ada, kita tidak bisa menghindari itu. Yang bisa kita lakukan adalah menjadi pelaku ekonomi yang cerdas.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia sudah menyediakan layanan pendidikan dan informasi mengenai keuangan. Berikut beberapa tulisan penting yang perlu dibaca lebih dulu:

Revolusi Industri 4.0 sudah dimulai sejak 2011. Teknologi akan berkembang lebih jauh lagi, mode transaksi ekonomi akan berubah. Mungkin uang dalam bentuk fisik akan lenyap, hemat kertas (crypto, anyone?)

Siapa yang tahu? Kita hanya bisa mempersiapkan diri dan terus beradaptasi.

Comments