Suatu hari pada masa kuliah, saya tergelitik dengan usaha seorang teman dalam mengusir cicak dari kamarnya. Sudah beberapa kali saya mendengarkan komplain tentang cicak (KBBI: cecak) ini yang suka beraktivitas malam hari dan membuat dia susah tidur.
Sederhananya, teman saya jijik terhadap cicak (pembaca yang pecinta reptil dan gecko/famili kadal, no offense lho).
Saya tanya, sudah cari informasi di Google tentang cara mengusir cicak? Googling kan sudah seperti hukum wajib, sumber informasi pertama.
Dia bilang nggak bisa. Bukan nggak mau, bukan belum dicoba, tapi nggak bisa. Kenapa?
Karena di artikel tentang cara mengusir cicak selalu ada gambar cicaknya.
"Kalau ada orang ingin ngusir cicak kan berarti mereka nggak suka cicak,
terus kenapa artikelnya malah ada gambar cicaknya!" kritik teman saya.
Saya ketawa. Iya juga, ya. Bukankah sungguh amat sangat masuk akal sekali?
Sebagai sesama penulis blog, saya paham kita tentu ingin menulis artikel yang informatif. Banyak tips blogging menyarankan untuk mencantumkan gambar. Katanya, bisa menggenjot SEO—biar blog/website masuk ke peringkat atas di mesin pencari (apalagi rebutan halaman pertama Google, wuih gontok-gontokan), bisa meningkatkan interaksi (engagement), yang ujungnya untuk mendongkrak monetisasi website.
Selalu ada baiknya untuk mengambil waktu dan berpikir "apakah tulisan ini sudah membantu assumed audience / target pembacanya?" sebelum klik "Publish".
Comments
Post a Comment