Teknik storytelling merupakan alat ampuh dalam pemasaran, belum lagi kalau dikombinasikan dengan cerita yang emosional. Saya terkejut tapi tidak heran mengetahui bahwa kesedihan dan kemalangan sudah jadi alat jualan. Istilahnya, sadvertising dan pity marketing.
Saya tertegun membaca penggalan artikel The Rise of Pity Marketing berikut:
...(Receiving sympathy by looking pathetic) is no longer seen as undesirable: pity is a lucrative route to engagement and attention. It’s now become common for people to share sob stories – particularly ones about professional failure – in an apparent bid to gain support (and promotion and custom) from total strangers.
Tampil menyedihkan untuk menerima simpati tidak lagi dipandang sebagai hal yang kurang etis. Menggunakan rasa iba dianggap sebagai strategi yang menguntungkan untuk mendapat perhatian dan engagement, khususnya di media sosial. Memviralkan kisah sedih untuk mendapat dukungan, promosi, sumbangan dari orang lain yang benar-benar asing sudah menjadi hal umum.
Seketika saya tergerak untuk menyelesaikan nonton TedTalk oleh Tina Yong
The Rise of Trauma Essay in College Applications yang sudah lama mangkrak di daftar Watch Later. Calon mahasiswa berlomba untuk memoles trauma dan kisah ketidakberuntungan dalam hidup mereka untuk mengambil hati tim penilai beasiswa
. Berusaha menjustifikasi bahwa
saya berhak diterima di kampus terbaik ini karena saya sudah menderita, tapi saya berhasil mengatasinya, dan saya punya mimpi. Sekarang sudah nggak bisa pakai "saya ingin masuk jurusan Paleontologi karena dinosaurus keren" sekalipun itu perasaan kita yang sejujurnya. Nggak menyentuh, nggak
menjual. Koneksi emosi memang punya peran penting sebagai penggerak pilihan, khususnya untuk konsumen. Penyair Maya Angelou berkata "People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel"—orang bisa lupa apa yang kita katakan dan perbuat, tapi mereka tidak akan lupa perasaan apa yang muncul dari perbuatan kita. Saat kita memberikan nasehat dengan membentak, sekalipun kata-kata kita benar, yang orang ingat adalah bagaimana rasanya dibentak.
Hanya saja, sekarang ini asal bermodalkan bermuka tebal dan tahan kritik (bahkan mungkin
playing victim), siapapun bisa memanfaatkan dorongan belas kasihan manusia sebagai taktik pemasaran. Pengalaman sedih yang dibikin hiperbola besar-besaran bukan berarti meningkatkan nilai produk tersebut.
Sebuah merek dapat mencoba untuk menciptakan iklan yang menyentuh
hati dengan tampil relevan terhadap isu sosial, bisa saja mereka
mengangkat masalah lingkungan dan kesenjangan sosial. Dengan pengalaman emosional yang kuat saat mengonsumsi konten tersebut, pesan iklan akan lebih melekat.
Yang mengkhawatirkan, sampai mana batas etika sadvertising? Bagaimana membedakannya dengan usaha untuk memanipulasi emosi konsumen secara berlebihan, eksploitasi kemalangan, dan komersialisasi penderitaan orang lain?
Jika salah langkah dan motivasi, strategi marketing semacam ini juga dapat membuat pemilik produk/usaha/karya mencicipi kesuksesan semu. Bisa menggembungkan kepercayaan diri yang sebenarnya kurang fondasi, padahal belum tentu citra sebuah merek memang merefleksikan aksi nyata. Bisa jadi tidak relevan dengan produk yang ditawarkan.
Dalam budaya populer
Saya teringat kanal College Humor (sekarang Dropout) yang memparodikan
CEO GoFundMe, bisa dibilang platform KitaBisa-nya Amerika, dengan satir dan sindiran. "Saya menjalankan situs web yang menyelenggarakan kontes popularitas, di mana jika Anda kalah, Anda mati."
Sistem medis di AS memang tidak punya asuransi kesehatan nasional. Mantan CEO GoFundMe (yang sungguhan), Rob Solomon, berkata bahwa pada kenyataannya sistem layanan kesehatan di AS gagal dan perlu diperbaiki.
Di Indonesia sendiri, mempertontonkan kemalangan untuk mengambil keuntungan dari simpati orang sudah sejak lama dilanggengkan oleh televisi. Katakanlah siaran Uang Kaget yang direproduksi berulangkali dari RCTI, ke GTV, dan ke MNCTV. Acara berkonsep
reality show ini menayangkan bagaimana orang-orang (seringkali dari kalangan kurang mampu) yang diberi sejumlah uang harus membelanjakannya dalam waktu terbatas. Kalau kata Rahadian dalam
tulisannya,"
Sudah tahu bingung, malah dibikin makin
bingung. Apa memang itu tujuannya: memperlihatkan betapa “lucunya” orang
miskin ketika diberi uang banyak?"
Remotivi mengkritik acara Mikrofon Pelunas Hutang di Indosiar yang diadaptasi dari siaran Thailand Mic On Debt Off. Kontestan diminta menyanyi, tapi yang dinilai bukan teknik bernyanyi. Apa kriteria juri untuk memilih peserta yang maju ke babak berikutnya pun tak jelas, selain komentar-komentar mereka tentang betapa menderitanya para peserta. Jadi... kontestan yang lolos adalah kontestan yang paling susah hidupnya. Penderitaan sekarang dilombakan, dengan bumbu kata-kata bijak kosong nir-empati, seolah kesenjangan sosial hanya soal nasib dan usaha, bukan masalah sistemik publik.
Dalam skala fiksi, yang terbaru adalah drama Korea berjudul Squid Game. Saya tidak nonton drakor, namun saya dapat keterangan ini dari ringkasan-ringkasan yang beredar di internet. Drama ini mengisahkan sekumpulan orang yang terjebak utang atau punya masalah finansial, yang diundang untuk berkompetisi dalam permainan anak-anak berisiko tinggi dengan hadiah uang berjumlah besar.
Konsep "main game sampai mati demi bayar utang" ini pun tidak asing dalam dunia komik. Beberapa judul seperti Liar Game dan Friends Game menggunakan plot dasar yang sama. Ide lama gaya baru, intinya sih tetap judi (mempertaruhkan sesuatu yang bernilai demi mendapatkan sesuatu yang bernilai lainnya).
Emosi sebagai alat
Saya paham tentu tidak semua kejadian memilukan yang diunggah di media punya motif tidak etis.
Tagar #TwitterDoYourMagic misalnya, sering berhasil menunjukkan sisi
altruisme manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa acara TV maupun
kampanye crowdfunding dapat memberikan manfaat besar pada penerimanya, baik secara moral maupun finansial.
Pisau dapat digunakan untuk memasak, berburu, ritual, maupun senjata. Emosi manusia pun dapat digunakan untuk berkomunikasi, berempati, mengambil keputusan, terapi, kepemimpinan, dan... strategi penjualan.
Comments
Post a Comment