Sudah cukup lama sejak saya tertarik untuk pinjam dan baca novel ini di perpustakaan. Hanya aja sering kalah niat dengan novel-novel lain, lagipula novel di perpustakaan 'kan gak bakal ke mana-mana, jadi saya kesampingkan terus sampai akhirnya kebaca juga. Ringkasan cerita di sampul belakangnya lumayan dan dari cover, saya bisa langsung tahu kalau ceritanya berkisar tentang persahabatan. Ternyata tema yang diambil lebih luas dan rumit. Di lembaran-lembaran awal cukup bikin malas karena alurnya masih datar-datar saja, tapi lembar demi lembar saya mulai semangat untuk menyelesaikan ceritanya. Ada juga bagian-bagian yang saya sayangkan karena tidak diceritakan lebih detail dan rasanya langsung di-skip saja. Sekitar 2-3 kejadian dalam novel yang bikin saya nangis sedih, bahkan saya hampir nangis di perpustakaan. Bayangin aja nangis di perpustakaan, rame dan saya duduk di depan meja pelayanan peminjaman.
Saya cukup ekspresif saat membaca/menonton sesuatu, dan kadang saya nggak sadar kalo muka saya banyak aksi. Begitu sadar, mata mulai terasa berat, mulai menyipit kayak menahan sesuatu dan rasanya alis saya berkerut, saya bergegas pulang dan berencana mengurung diri di kamar biar bisa nangis lebih bebas.
Ada juga bagian-bagian yang bikin saya berhenti membaca, tarik napas atau sekadar menenangkan pikiran supaya nggak marah atau teriak, baru meneruskan membacanya. Lebay memang, tapi memang itulah yang terjadi.
Pada akhirnya, ending yang keren dan dibiarkan menggantung supaya pembaca bebas mengartikan itu bener-bener menyentuh dan melegakan. Ternyata juga sudah difilmkan, lho.
Major spoiler ahead.
Identitas novel
Novel ini adalah karya perdana dari seorang dokter kewarganegaraan Afghanistan bernama Khaled Hosseini. Ada juga yang menulis namanya sebagai Khaleed Khosaini, tapi saya nurut saja dengan apa yang tertera di sampul novel. Novel ini karya perdana dalam artian versi Bahasa Inggris. Menurut riwayat pengarang di dalam novel, mungkin Khaled Hosseini, sejauh ini, adalah satu-satunya pengarang Afghanistan yang menulis dalam Bahasa Inggris dan langsung menggebrak dunia. Hanya dalam waktu empat tahun sejak diterbitkan tahun 2003, pada tahun 2007 novel ini dijadikan film dengan judul yang sama.
Novel ini menuai banyak pujian dan resensi dari banyak pihak seperti yang saya baca di lembar-lembar awal, di antaranya dari Kompas dan Republika. Pujiannya bisa 3-4 lembar, padahal ukuran hurufnya udah cukup kecil. Setelah baca novelnya sampai habis, saya jadi paham kalo pujian-pujian itu enggak berlebihan. Di Indonesia novel ini diterbitkan oleh Penerbit Mizan, satu-satunya sampai hari ini setahu saya.
Sinopsis
The Kite Runner bercerita tentang Amir, seorang anak laki-laki dari distrik Wazir Akbar Khan di Kabul, dan sahabatnya Hassan, putra seorang pelayan hazara di rumahnya. Cerita berkisar seputar kekisruhan situasi pemerintahan di Afghanistan pasca jatuhnya monarki Afghanistan dalam invasi Soviet, eksodus pengungsi ke Pakistan dan Amerika Serikat, serta munculnya rezim Taliban.
-Wikipedia
Amir, anak laki-laki tunggal dalam sebuah keluarga kaya-raya dan terpandang di Kabul. Baba--ayah (bhs. Afghanistan) nya adalah pria kuat dalam segala arti yang bisa ditangkap, cowok banget gitu deh. Gentleman, dan Amir sangat memujanya, amat mengharapkan kasih sayang dari ayahnya yang cuek. Ibunya meninggal setelah melahirkan dia. Amir memiliki dua orang pelayan--ayah dan anak bernama Ali dan Hassan. Hassan satu tahun lebih muda dan sampai usia dua belas, Amir dan Hassan dibesarkan bersama-sama. Hassan adalah pelayan, dan lebih dari itu, bisa dibilang satu-satunya sahabat Amir yang paling setia. Sebaliknya, Amir, walau selalu bermain dengan Hassan, tidak pernah menganggap Hassan manusia yang setara dan sering mempermainkannya.
Strata sosial sudah menjadi adat kebiasaan Afghanistan. Hassan dan Ali berasal dari suku Hazara yang dianggap sebagai kasta pelayan, rendah dan bahkan dianggap menjijikkan. Kaum Hazara juga penganut Islam Syi'ah, yang dianggap hina oleh kaum Pashtun penganut Islam Sunni seperti Amir dan ayahnya.
Afghanistan saat itu memiliki adat turnamen layang-layang yang dianggap bergengsi. Suatu kebanggaan tersendiri bagi setiap anak untuk berpartisipasi, dan para orangtua mengganggapnya sebagai restasi yang patut dibanggakan. Hassan dan Amir ikut serta. Amir adalah salah satu dari pemain layang-layang terbaik, dan Hassan adalah pengejar layang-layang terbaik. Siapa sangka kalau turnamen itu akan mengakhiri persahabatan mereka.
Kebahagiaan semu bagi Amir terasa memuakkan dan ia tidak dapat menikmatinya. Menginjak usia remaja, ia dan ayahnya menyelundup dari Kabul ke Amerika karena kedatangan Rusia ke Afghanistan. Hidup di Amerika pun tak mudah, namun ia menemukan cinta sejatinya di sana, satu kebahagiaan nyata yang ia rasa tak pantas untuk ia dapatkan. Karier dan pekerjaan juga kehidupan rumah tangganya berjalan dengan baik, tapi Amir tak bisa lari selamanya. Kematian ayahnya menguak rahasia besar yang membawanya mengambil sebuah keputusan besar: menghadapi dosa lama dan menjalani hidup baru dengan penebusan dosa.
Tema yang dijadikan dasar cerita novel ini ada banyak. Cinta dalam keluarga; kesetiaan; kejujuran; moral dan kemanusiaan; status dan harga diri; mungkin itu tema-tema yang utama. Saya nggak habis pikir, hebat banget ya manusia, bisa begitu kompleks.
Diceritakan dengan diksi yang bisa dibilang jujur (karena sudut penceritaannya oleh anak-anak) dan 'ketajaman' yang tersirat, novel ini banyak menunjukkan pergolakan batin seorang laki-laki yang masa kecilnya bergelimang harta. Ada juga istilah-istilah dalam bahasa Afghanistan yang dituliskan sambil lalu dengan pintar dan nggak bikin bingung, sehingga secara nggak langsung kita sudah belajar sedikit bahasa Afghanistan. Istilah dalam bahasa Afghan itu juga rasanya lebih dalam dibanding kata Indonesianya terkait isi cerita dan dialog.
Alur
Berawal dari sebuah telepon bagi Amir dewasa, Rahim Khan, sahabat ayah sekaligus sahabatnya sendiri mengajaknya untuk kembali menghadapi masa lalu. Cerita kemudian mundur, menceritakan masa kecil Amir sampai ke tragedi layang-layang yang mengubah hidupnya dan akhirnya alur terus maju, diselingi beberapa kali flashback sepanjang cerita. Jalan ceritanya nggak bisa ditebak dan bener-bener seru untuk diikuti.
Konflik
Konflik ya? Bisa dibilang seisi novel ini adalah konflik. Amir dengan ayahnya baik saat Amir masih kecil, remaja dan dewasa;Amir dengan dirinya sendiri;Amir dengan Hassan;Amir dengan orang-orang yang ditemuinya;Amir dengan Sohrab, jalan penebusan dosanya.. gak ada habisnya ya Amir?
Penokohan
Tokoh utama tentu saja Amir. Saya cukup bingung menentukan antagonisnya karena Amir sendiri juga punya peran antagonis, tapi Assef (teman sekolah Amir) adalah salah satu peran antagonis. Ada Hassan, Ali (ayah Hassan), Baba (ayah Amir, nama aslinya saya lupa), Rahim Khan (sahabat Amir dan ayahnya), istri Amir, dan Sohrab (anak Hassan). Banyak tokoh pembantu lain yang nggak sanggup saya sebutkan di sini. Penggambaran watak masing-masing tokoh dilakukan dengan amat baik secara deskriptif oleh Amir yang berlaku sebagai narator (sudut pandang orang pertama pelaku utama) maupun antardialog.
Catatan saya
Novel ini banyak menguak sisi gelap anak manusia dari pemikiran-pemikiran maupun tindakannya, sehingga pesan moral yang bisa diambil pun banyak. Serius, gimana bilangnya ya, tau tapi susah dibilang pakai kata-kata.
- Kita nggak bisa lari dari masa lalu, satu-satunya cara adalah menghadapinya. Untuk menghadapi pun, kita nggak bisa pilih-pilih waktu. Kadang waktu untuk penebusan dosa itu datang tiba-tiba dan kita harus memaksakan diri untuk bersiap sesegera mungkin.
- Ambil keputusan yang tidak akan membuat kita kecewa dan menyesal di kemudian hari. Yah, kadang penyesalan itu memang nggak bisa dihindari, tapi kalau menyikapinya dengan positif semua pasti ada jalannya.
- Perlahan tapi pasti, kesabaran membuahkan hasil. Jangan kecewa dengan perubahan kecil, semua kesuksesan dan hasil yang besar berawal dari hal-hal sederhana.
- Cinta kasih dan kesetiaan itu kebutuhan semua orang, tapi juga kewajiban. Kedua hal itu seharusnya terjadi tanpa paksaan. Tulus dan berlangsung begitu saja.
- Status, harga diri, kehormatan semua hanya terlihat dari luar. Nggak dibawa masuk liang kubur. Walau terlihat begitu menggiurkan, pada akhirnya semua itu semu. Menjaga hal-hal seperti itu sia-sia saja, karena begitu satu kesalahan/keburukan terjadi, semua kebaikan terlupakan. Hidup hanya sebentar, harus diisi dengan hal-hal yang bermakna baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari kesederhanaan cara hidup yang penuh kasih (ini bukan omongan manis doang ya).
- Miliki sebuah prinsip hidup, motto atau apapun itu dalam diri masing-masing. Hal itu amat diperlukan, amat menentukan masa depan dan akhirnya nanti. Prinsip itu juga harus dipikirkan masak-masak, melalui banyak pertimbangan, dan pastikan tidak pernah melanggarnya. Prinsip itu akan membentuk karakter.
Happy reading!
Comments
Post a Comment